Mencapai tahapan ma'rifatullah, dan kondisi selalu bersama Allah
(ma'iyyatullah), apalagi anugerah untuk bisa "melihat" dan "berpadu"
dengan Allah dalam alam keabadian setelah mati, menjadi dambaan dan
harapan hampir semua umat manusia. Sehingga berbagai cara ditempuh untuk
itu. Dalam konteks buku ini, perjalanan spiritual tersebut, lebih
diarahkan pada manifestasi pengalaman manunggaling kawula-Gusti, buah
spiritual dari Syekh Siti Jenar.
Islam menyediakan kerangka utuh
untuk hal tersebut, yaitu konsep dasar iman, islam, dan ihsan. Dalam
dunia tasawuf, ketiga kerangka keagamaan tersebut diaplikasi dalam
doktrin kemanunggalan syari'at, thariqah, ma'rifat, dan hakikat. Namun
pusat dari empat doktrin sufi itu adalah ma'rifatullah.
menginformasikan kembali "perjalanan hidup" melalui buku yang pernah beredar di Nusantara, khususnya buku tasawuf.
Wednesday, August 23, 2017
Manunggaling Kawula Gusti
uku Manunggaling Kawula Gusti karya KH. Muhammad Solikhin mengungkapkan
tentang ajaran Syekh Siti Jenar yang dikenal dengan Manunggaling Kawula
Gusti atau dalam bahasa Indonesianya, Menyatunya antara manusia dengan
Tuhannya.
Manunggaling Kawula Gusti adalah tataran tertinggi yang dapat dicapai manusia dalam meningkatkan kualitas dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilis-nya aliran kepercayaan tertentu, atau Satriya Pinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik Omega-nya Teilhard de Chardin, atau Kresnarjunasamvada-nya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat sebagai hasil dari pengalaman rohani. Nabi Muhammad saw., setelah manunggal dalam mi’rajnya, juga harus turun kembali ke bumi, mengimplementasikan pengalaman rohani itu bagi kepentingan manusia. Syekh Siti Jenar juga berbuat amal bagi kemaslahatan masyarakat, sebagai aplikasi dari kualitas rohaninya dalam kemanunggalan.
Manunggaling Kawula Gusti adalah tataran tertinggi yang dapat dicapai manusia dalam meningkatkan kualitas dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilis-nya aliran kepercayaan tertentu, atau Satriya Pinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik Omega-nya Teilhard de Chardin, atau Kresnarjunasamvada-nya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat sebagai hasil dari pengalaman rohani. Nabi Muhammad saw., setelah manunggal dalam mi’rajnya, juga harus turun kembali ke bumi, mengimplementasikan pengalaman rohani itu bagi kepentingan manusia. Syekh Siti Jenar juga berbuat amal bagi kemaslahatan masyarakat, sebagai aplikasi dari kualitas rohaninya dalam kemanunggalan.
Obrolan Sufi
"Seperti sungai surgawi, ceramah Syekh Ragip itu jernih, bening, dan lezat untuk batin kita."
-Pir Zia Inayat-Khan
Sejatinya, kita semua rindu untuk selalu mendekat kepada Tuhan. Banyak jalan untuk itu, di antaranya melalui tasawuf. Tetapi, menjadi sufi bagi sebagian orang sangatlah berat dan sulit.
Robert Frager, seorang mursyid dari Amerika, menepis anggapan itu. Bertasawuf bukanlah mengasingkan diri dari hiruk-pikuk dunia untuk kemudian berdekatan dengan Tuhan. Pengembangan spiritual dan kehidupan sehari-hari dapat menyatu dalam harmoni.
Melalui metode obrolan antara guru dan murid, antara mursyid dan darwis, Syekh Frager menyampaikan ajaran-ajaran tasawuf secara ringan, tanpa menggurui, dan mengantarkan kita pada perenungan. Hasilnya, kita yang membacanya ingin lebih memperpendek jarak kita dengan Tuhan dan senantiasa ingin menyertakan Tuhan dalam aktivitas sehari-hari kita.
Robert Frager, Ph.D. meraih doktor psikologi sosial dari Harvard University pada 1967. Tahun 1975, ia mendirikan the Institute of Transpersonal Psychology di Palo Alto, tempat kini dia menjadi guru besar psikologi. Sebelumnya, Frager mengajar psikologi dan studi agama selama 7 tahun di University of California, Berkeley dan University of California, Santa Cruz.
Pada 1985, ia dikukuhkan sebagai syekh atau mursyid. Selain menjadi psikolog transpersonal, konsultan, dan guru, kini sehari-harinya mengabdi sebagai Presiden Tarekat Jerrahi Order California dan sudah lebih dari 25 tahun menjadi pembimbing spiritual. Salah satu karya terbaiknya: Psikologi Sufi untuk Transformasi Diri.
Tuesday, August 22, 2017
ISLAM MENCINTAI NUSANTARA JALAN DAKWAH SUNAN KALIJAGA
Islam itu rahmatan lil alamin. Al-Quran jelas menyebutkan itu
dalam banyak ayatnya. Ia mendatangi siapa saja dengan cinta dan kasih.
Sejarah Nusantara pun mencatat bahwa Islam berhasil merasuk ke dalam
jiwa manusia Nusantara, terutama Jawa, melalui jalur yang sangat lembut.
Lelaku dakwah Sunan Kalijaga memberi kita pelajaran tentang semua itu.
B. Wibowo, dalam buku ini, mengupas tuntas salah satu “jurus” Sunan
Kalijaga untuk menanamkan Islam di dada orang Jawa; melalui taktik
modifikasi budaya yang tak menyakiti siapapun—dengan mengajarkan tauhid
melalui Kidung Kawedar. Dari buku ini kita bisa kembali
belajar, bahwa sudah seharusnyalah Islam berwajah ramah. Islam tidak
berantitesa dengan kearifan lokal manapun. Islam justru
menyempurnakannya. Islam akan merasuk paripurna dalam hati melalui jalan
yang lembut penuh cinta, bukannya dengan teriakan kemarahan dan pedang
yang terhunus. Inilah DNA Islam di Nusantara, memposisikan agama sebagai
jembatan perekat, bukan penyekat berbagai kehidupan sosial dan budaya.
Endorsemen:
Tak ada yang abadi termasuk Nusantara. Buku yang mengajak kita
tersenyum dalam beragama ini setidaknya akan menunda kepunahan itu. Biar
beragama secara ‘non Sunan Kalijaga’ saja yang akan mempercepatnya.”
—Sujiwo Tejo, Penulis Buku Megabestseller Tuhan Maha Asyik
“...Sangat menarik menempatkan buku Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Tafsir Suluk Kidung Kawedar ini
dalam bingkai besar pemahaman ulang atas upaya penerapan Islam dalam
ruang budaya (dalam hal ini Jawa terutama) yang dilakukan oleh para
wali, terutama Sunan Kalijaga. Hal ini menjadi sangat penting,
setidaknya mengingat fakta bahwa semakin ke sini semakin banyak generasi
baru yang bukan saja tidak memahami bagaimana para pendahulu berjuang
menerapkan Islam secara bertahap lewat jalur budaya; tapi bahkan lebih
jauh lagi, malah menganggap para pendahulu tersebut seolah sebagai
peletak dasar dari apa yang secara tergesa mereka kategorikan sebagai
kesyirikan atau, setidaknya tradisi bid’ah.”
—Anis Sholeh Ba’asyin, Budayawan dan Pengasuh Suluk Maleman, Pati
ISBN: 9786028648202
Tahun Terbit: Mei 2017
Halaman: 306 Halaman
Berat: 0,28 Kg
Quantum Qalbu (Terjemahan Qutul Qulub)
Buku Pertama antara lain berisi: Ayat-ayat Alquran tentang orang salih; tata cara wirid; amalan siang
dan malam; zikir dan doa setelah subuh; shalat sunnah fajar; keutamaan shalat
siang dan malam hari; shalat witir dan keutamaan shalat malam; waktu-waktu mustajab
dan shalat tasbih, tentang Alquran; seluk beluk shalat jumat; tentang puasa.
Rasulullah saw. Bersabda : “Barangsiapa yang ingin
mengetahui kedudukannya di hadapan Allah, hendaklah ia melihat bagaimana
kedudukan Allah dalam hatinya. Tinggalkan perkara yang mengganggu hatimu, dan
minta fatwalah kepada hatimu, walaupun banyak orang yang memberikan fatwa!”
Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah karya terbesar
dalam tasawuf yang-menurut seorang orientalis Jerman, Brockelmann- dipandang
sebagai sumber utama yang digunakan Al-Ghazali dalam menulis kitab Ihya ‘Ulumiddin. Al-Ghazali, dalam
bukunya Al-Munqidz Min adh-Dhalal,
memberikan pernyataan yang mengakui hal ini. Buku ini merupakan kitab yang amat
terkenal di kalangan para ulama dan memperoleh perhatian besar dari mereka, dan
juga telah mengilhami banyak karya lain yang ditulis setelahnya. Anda wajib membaca
sumber inspirasi Al-Ghazali ini sebagai nutrisi untuk hati.
Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah satu-satunya
terjemahan kitab tersebut dalam bahasa Indonesia!
*
Buku Kedua antara lain tentang: Kedudukan orang-orang yakin; lintasan hati;
ahli hati, dan sifat hati; ragam ilmu dan keutamaannya; tentang ilmu makrifat;
ilmu batin dan ilmu lahir; keutamaan ilmu iman dan ilmu yakin dibanding ilmu
yang lain; dan tentang hakikat zuhud.
Rasulullah saw. Bersabda: “Barangsiapa
yang ingin mengetahui kedudukannya di hadapan Allah, hendaklah ia melihat
bagaimana kedudukan Allah dalam hatinya. Tinggalkan perkara yang mengganggu
hatimu, dan mintalah fatwa kepada hatimu, walaupun banyak orang yang memberikan
fatwa!”
Maka siapkan hati anda! Jangan abaikan.
Beri makan ia dengan makanan bergizi. Jangan biarkan ia hanya menjadi segumpal
daging. Hiasi dengan keindahan amal, ilmu dan makrifatullah. Anda perlu
membacanya sebagai nutrisi untuk hati. Karena makanan jiwa adalah ilmu. Dan jika
amal ini dilakukan dengan ikhlas dan hati-hati, niscaya akan terbukalah
pintu-pintu makrifat dan ilmu, dan hati akan disinari oleh Allah SWT.
Sekali lagi, inilah buku yang
disebut-sebut dan diyakini bahkan oleh Al-ghazali sendiri sebagai sumber
inspirasi dan bahan utama dalam menulis Kitab Ihya Ulumuddin yang terkenal itu.
Muhammad bin ali bin
Athiyyah Al-Haritsi al-Makki, yang dikenal dengan Abu Thalib al-Makki, lahir di
Makkah. Disana ia belajar kepada beberapa orang guru di bidang hadis dan ilmu
tarekat, kemudian ia pindah ke bashrah, lalu ke Baghdad dan wafat disana pada
386H. Ia adalah seorang ulama yang banyak melakukan riyadhah (olah batin) dan
mujahadah. Kono, selama bertahun-tahun ia tidak mengonsumsi makanan selain
sayuran yang ditanamnya sendiri, sehingga kulitnya memucat.
Subscribe to:
Posts (Atom)